Empat tahun silam, tepatnya Senin, 9 Oktober 2006, Korea Utara melakukan uji peledakan nuklir untuk pertama kalinya. Dengan uji tersebut, Korut menjadi negara kedelapan yang menyatakan diri sebagai negara nuklir setelah AS (1945), Rusia (1949), Inggris (1952), Perancis (1960), RRC (1964), India (1974), dan Pakistan (1998). Israel diyakini memiliki sekitar 200 senjata nuklir, tapi itu tak pernah dinyatakan secara terbuka.
Kita ingat, reaksi dunia atas uji nuklir Korut itu amat hebat. Nuklir Korut telah mengguncangkan keseimbangan di Asia Timur. Waktu itu tebersit kekhawatiran, bagaimana kalau Jepang dan Korea Selatan lalu mengikuti jejak Korut?
Memang saat itu muncul perkiraan, daya ledakan nuklir Korut lebih rendah dibandingkan dengan uji nuklir pertama negara lain, yaitu 1 kiloton atau kurang. Padahal biasanya uji nuklir pertama menghasilkan daya ledak 10 kiloton-60 kiloton. (NYT Online, 10/10/06)
Selain masalah daya ledak, Korut juga masih perlu mengubah bom yang dapat diledakkan menjadi hulu ledak untuk dipasang di pucuk rudal kebanggaan mereka yang bernama Taepodong.
Meskipun jalan panjang masih harus dilalui Korut untuk menyempurnakan sistem senjata nuklirnya, yang sudah diperlihatkan negara ini kepada dunia amat menggentarkan. Tentu Jepang dan Korsel adalah dua negara yang paling cemas dengan situasi ini.
Dalam situasi keseimbangan kekuatan yang berubah inilah, tanpa diduga-duga, Selasa (23/11) lalu, Korut menembakkan artileri ke Pulau Yeonpyeong, ketika Korsel melakukan latihan militer tahunan yang diikuti oleh 70.000 pasukan. Serangan yang menewaskan dua tentara Korsel ini tak ayal lagi memicu baku tembak dalam salah satu bentrok paling serius antara dua musuh bebuyutan ini dalam puluhan tahun terakhir.
Dari pihak Korsel, Korut bukan sekali ini saja memprovokasi. Beberapa tahun terakhir provokasi Korut, termasuk dua kali uji nuklir, beberapa kali uji peluncuran rudal, serta penenggelaman sebuah kapal perang Korsel pada Maret silam yang menewaskan 46 pelautnya.
Sebaliknya, pihak Korut berpandangan bahwa latihan militer Korsel merupakan simulasi invasi Selatan ke Utara, dan ”satu cara untuk memprovokasi perang”. Menurut Korut, latihan tersebut melibatkan sejumlah kekuatan AS meskipun hal ini dibantah oleh Korsel.
Yeonpyeong yang terletak 3 kilometer dari garis batas utara (ini batas laut yang tidak diakui oleh Korut), dan hanya 12 km dari pantai Korut, kini menjadi pangkalan sekitar 1.000 marinir Korut. Angkatan Laut Korsel sudah mengoperasikan kapal ”patroli pembunuh” kelas terbaru yang dilengkapi dengan rudal di Laut Barat, atau yang juga dikenal sebagai Laut Kuning. (IHT, 24/11)
Menyusul insiden provokasi di atas, kuasa-kuasa besar yang aktif mengupayakan perdamaian di Semenanjung Korea lalu menyerukan agar konflik diselesaikan secara nonmiliter, dan Korut mau kembali ke meja perundingan enam pihak yang memfokuskan diri pada upaya denuklirisasi di Semenanjung.
Namun, seiring dengan itu, AS segera mengirimkan gugus kapal induk George Washington dari pangkalannya di selatan Tokyo, Rabu lalu. Kapal induk bertenaga nuklir yang mengangkut lebih dari 75 pesawat dan 6.000 awak ini akan bergabung dengan latihan militer Korsel hingga Rabu pekan depan.
Ancaman nuklir
Di luar penembakan artileri, yang tentu amat mengkhawatirkan adalah eskalasi yang bisa memicu ancaman Kim Jong Il di awal tulisan ini.
Selain kecanggihan teknologi alat utama sistem senjata, kemakmuran Korsel memungkinkan disediakannya latihan lebih memadai.
Kondisi yang tidak simetri ini dengan cerdik coba dijungkirkan Korut dengan mengembangkan kemampuan nuklir dan rudal. Untuk nuklir, Korut terbukti punya program penyempurnaan dan perluasan. Guru besar Universitas Stanford, Siegfried S Hecker, yang mengunjungi Korut melihat dengan mata kepala sendiri adanya fasilitas modern untuk pengayaan nuklir.
Adapun untuk rudal, sejak tahun 2006 Korut telah menguasai rekayasa rudal. Berbasis rudal Scud buatan Rusia, Korut telah berhasil mengembangkan rudal balistik jarak pendek, jarak sedang (Nodong), dan jarak jauh (Taepodong).
kompas
Comments
Post a Comment